Menyapa Kanigara dan Samudera di Bantul Selatan
Saat itu hari Minggu. Cuaca cerah meskipun sedikit mendung.
Sekitar jam 8.30 pagi kami berangkat dari pusat kota Jogja menuju arah selatan, Bantul. Aku memang tertarik untuk mengunjungi area Bantul Selatan, kudengar lahan di dekat pantainya merupakan rumah dari sekumpulan kanigara, alias bunga matahari. Di Jogja sendiri Bantul bukanlah satu-satunya area yang menawarkan ladang kuning ini, masih ada Kulon Progo, Sleman, dan Gunung Kidul.
Perjalanan menggunakan mobil ditempuh dalam waktu kurang lebih hampir satu jam. Suasana jalan yang sempit namun lengang dan bisa dibilang sangat mulus, membuatku mengantuk dan sempat tidur-tidur ayam beberapa kali. Terakhir aku terbangun karena mobil yang biasanya melaju kencang, tiba-tiba menjadi perlahan. Rupanya ada rombongan cikar yang lewat di jalan raya. Ada dua.. tiga.. eh tidak, lebih! Mendadak rasa kantukku hilang karena aku sibuk menonton dari balik jendela mobil yang pelan-pelan mulai menyalip.
Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku melihat kendaraan ini. Cikar atau pedati terakhir yang kuingat, dulu sering lewat di depan rumah mbahku di Kediri, untuk mengangkut pasir antar desa. Tentu saja sudah lebih dari satu dekade yang lalu, saat belum banyak kendaraan bermotor yang masuk gang-gang kecil seperti sekarang. Karena ditarik oleh sapi, cikar tidak bisa sekencang delman dengan kudanya. Rasanya dulu sering sekali keluar rumah mbahku hanya untuk menyaksikan cikar lewat, sambil menunggu serbuk pasir yang terjatuh ke jalanan membentuk ekor panjang kelabu.
Omong-omong barisan cikar yang berjalan pelan ini sulit untuk diabaikan. Lain dari pedati pada umumnya, cikar-cikar ini dicat warna warni meriah mulai dari gerobak hingga poros rodanya. Belakangan aku baru tahu, ternyata ada komunitas tersendiri untuk para 'bajingan' ini di Bantul dan kota-kota lainnya di Jogja. Ya, 'bajingan' yang dimaksud adalah sais atau kusir kereta. Mereka memang menghias cikarnya sedemikian rupa, yang tujuannya juga untuk menarik minat wisatawan. Cek lebih lengkapnya disini ya.
Setelah melewati rumah-rumah penduduk dan hamparan sawah yang asri seperti pada film pendek Tilik, akhirnya kami tiba di gerbang tiket Kawasan Pantai Samas. Karena belum ada yang pernah menyambangi pantai selatan ini, jujur kami kaget karena tidak ada ekspektasi membayar tiket. Lha wong masih jauh kok dari pantai... Tapi yasudah, dengan membayar sebesar Rp 10.000,- per orang, kami sudah bisa melanjutkan perjalanan yang rupanya tidak sampai 1 kilometer dari gerbang, bibir pantai sudah terlihat di kejauhan.
Sebenarnya tidak ada dalam rencana untuk mengunjungi pantai. Karena masih musim pandemi, tempat-tempat yang terlalu ramai rasanya lebih baik dihindari. Dan aku sudah membayangkan sepertinya pantai yang dibuka untuk publik, akan tetap ramai di akhir minggu dan liburan.
Alih-alih lurus untuk masuk ke Pantai Samas, kami justru berbelok ke kanan, mengikuti petunjuk pada blog-blog yang sudah kubaca sebelumnya, menuju kebun bunga matahari yang selalu viral di tahun-tahun belakangan ini. 200 meter.. 500 meter.. sampai 1 kilometer.. Loh dimana bunga mataharinya? Yang terlihat justru ladang-ladang yang mengering tanpa pohon teduh. Aku langsung teringat dengan omongan petugas di gerbang tiket, yang sempat mengatakan kalau saat ini bukanlah musim yang tepat untuk bunga matahari mekar. Namun ya.. aku sulit percaya jika tidak melihat sendiri. Dan ternyata.. benar saja! Kulihat baik-baik ke kanan kiri. Memang dikatakan bunga matahari yang ditanam di area ini awalnya berfungsi untuk melindungi pohon-pohon cabe dari terpaan angin. Tapi saat ini hanya tinggal cabenya saja tanpa kanigara menaungi di sisi. Sempat kulihat satu dua bunga matahari yang sudah mengering dan menghitam. Ah!
Saat masih sulit menerima kenyataan, mobil yang terus melaju ke arah barat tiba-tiba melewati lahan kecil yang saling berseberangan, dan .. hamparan bunga matahari yang cantik menyambut kedatangan kami. Rupanya masih ada harapan. Sontak mobil dihentikan dan kami turun. Ada tiga, empat remaja tanggung terlihat sedang mengagumi kanigara ini. Sisanya kosong, hanya ada gubuk kecil yang menjajakan makanan dan minuman ringan di seberang.
Kebun bunga matahari di sisi kiri ini hanya dibatasi dengan pagar kayu dari jalan raya. Namun pintunya terbuka dan semua orang bebas masuk untuk melihat-lihat. Barisan kembang sewarna mentari ini sangat indah, tingginya melampaui orang dewasa, namun masih terlihat terawat. Jika diperhatikan, tidak jarang juga aku menangkap pemandangan lebah-lebah mengunjungi mahkota-mahkota yang bermekaran lebar. Walaupun panas sudah mulai terasa, terbayar dengan keelokan kanigara yang memandangnya saja membuat senang. Wah aku tidak sedang merayu bunga, 'kan?
Beralih ke seberang, rupanya deretan bunga matahari berdiri lebih menjulang dan lebat. Disini juga ada ruas gang kecil-kecil yang ditanami kanigara di kanan kirinya. Dengan latar belakang awan putih langit biru, bunga yang bisa mencapai tinggi 3 meter ini terlihat mencolok, cerah dan kontras. Sebelum melanjutkan perjalanan, rupanya bapak ibu penjaga warung termasuk berperan sebagai penjaga kebun, yang mana pengunjung harus membayar seharga Rp. 5.000,- saja per kepala. Usut punya usut, seluruh kebun bunga natahari di area Samas ini dimiliki oleh satu orang saja nih. Dan awalnya pun tidak diniati sebagai objek wisata. Karena cantiknya sang kanigara ini, membuat antusiasme pengunjung meningkat, dan rasanya perlu biaya lebih untuk merawatnya. Menarik nih!
Selain tanaman cabe, ternyata masih banyak varian tumbuh-tumbuhan lain yang dikembangkan di antara rumpun bunga matahari ini. Salah satunya adalah strawberry. Pertama melihatnya, aku hampir tidak percaya. Lho strawberry kok di pantai, bukan di gunung? Maklum, selama ini aku cuma tau area Puncak Bogor atau Lembang Bandung sebagai penghasil buah merah berbintik ini. Tapi jangan salah, tanaman strawberry yang juga dibeli ayahku dari sini, belakangan aku melihatnya sendiri berbuah merah di halaman rumah kami yang notabene, di dataran rendah.
Dalam obrolan singkat, si bapak penjaga kebun menyarankan kami untuk mampir ke pantai, yang tentunya kami tolak secara halus karena ingin menghindari keramaian pantai wisata. Si bapak tersenyum dan menjelaskan masih ada pantai-pantai liar yang belum 'dipagari' yang bisa menjadi salah satu opsi. Akhirnya kami tertarik dan mengikuti petunjuk jalan beliau.
Dari kebun bunga matahari, masih harus berjalan ke barat menyusuri Jalan Lintas Selatan sampai bertemu perempatan dengan Jalan Samas, masih lurus sedikit. Di sisi kiri jalan setelah arah Pantai Segoro Kidul, terdapat gang kecil tanpa plang nama jalan, yang jika dilihat sekilas mobil sepertinya tidak akan muat. Tapi, berbekal dengan informasi dari si bapak penjaga, kami jalan saja, toh jalan tersebut tidak ramai, hanya ada satu dua sepeda motor melintas.
Kurang lebih selama 5 menit, kami melewati jalanan kecil yang sedikit berkelok itu. Namun secara mengejutkan, kondisi aspalnya cukup bagus. Hanya ruas terakhir yang bebas aspal, alias tanah dan bebatuan kecil. Agak kaget awalnya, tapi kami semakin yakin sedang berada di jalan yang benar, karena di depan sudah mulai terlihat birunya samudera.
Saat berhasil keluar dari jalanan kecil tersebut, jarak antar pohon sudah merenggang dan benar saja, lautan sudah tampak persis di depan. Untuk ukuran pantai, area ini cukup sepi. Terlihat ada beberapa bapak - bapak sedang memancing ikan di tepian pantai, dan juga satu dua pedagang motoran menjajakan bakso aci. Hanya ada sedikit pohon cemara udang yang tumbuh di pantai. Bibir pantainya sendiri sangat panjang. Rasanya tidak terlihat ujung timur dan baratnya. Hanya hamparan pasir bertemu ombak pasang di kanan dan kiri. Dengan pasir cokelat kehitaman, memang pantai ini bukanlah jenis pantai 'cantik' seperti rata - rata pantai utara Jawa. Tapi dengan pemandangan yang masih alami dan jauh dari banyak campur tangan manusia ini, menyiratkan keindahan liar yang sepertinya sayang jika didatangi oleh banyak turis. Diam-diam aku berterimakasih untuk petunjuk jalan yang diberikan oleh si bapak penjaga kebun bunga matahari.
Jam baru menunjukkan lewat jam 12 siang, tapi ombak Selatan memang beda. Deburannya sangat kuat bagaikan pasang, dan beberapa kali kami 'dikejar' olehnya. Jika bukan karena teriknya matahari siang bolong, mungkin aku akan percaya jika seseorang mengatakan hari sudah sore.
Entah sudah sejak kapan aku tidak melihat warna sebiru ini. Perpaduan segarnya ombak samudera dan cerahnya langit membuatku betah ingin berlama-lama. Berjongkok di atas pasir basah sambil menghadap Selatan, menyadarkanku betapa kecilnya manusia. Jika saja aku bisa melihat jauh kesana, entah harus menghadapi berapa ribu kilometer terlebih dahulu untuk bertemu dengan daratan lagi?
Oktober 2020--
Samas, Bantul Selatan, Jogja.
Comments
Post a Comment