Singgah ke Bromo via Alas Burno, Lumajang
Gunung Bromo. Siapa yang tidak kenal dengan salah satu puncak Kaldera Tengger, dengan kawah vulkanik yang masih aktif ini? Mayoritas penduduk Indonesia, terutama Pulau Jawa, pasti pernah mendengar gunung yang namanya merupakan serapan dari kata Brahma dalam Bahasa Sansekerta yang berarti salah satu Dewa Trimurti dalam kepercayaan Hindu.
Gunung Bromo yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, merupakan objek wisata yang berada di antara 4 wilayah, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Lumajang. Karena berlokasi di tengah-tengah perbatasan ini, Bromo menawarkan empat jalan masuk yang berbeda pula. Lajur yang umum diambil oleh para wisatawan dimulai dari Kabupaten Probolinggo atau Pasuruan, yang lebih dekat dengan sang kawah dan langsung menuju spot sunrise berlatarbelakang kaldera ini. Sehingga jalur ini biasanya merupakan yang paling padat. Untuk jalur dari arah Malang dan Lumajang, para turis harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk mencapai kawah, karena harus melintasi padang sabana terlebih dahulu. Namun jalanan cenderung lebih lengang.
Berada di salah satu opsi jalur mudik yang kami lewati, kali ini, kami memutuskan untuk singgah sejenak di kediaman Suku Tengger ini. Berawal dari Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, yang memang berada di kaki Gunung Semeru, rute ke Bromo dimulai dengan arah menuju Ranu Pani. Berjarak sekitar 11 kilometer dari Hotel Lumajang, kita bisa dengan mudah menemukan pertigaan di Jalan Raya Senduro yang mengarah ke Ranu Pani. Belok kiri jika berangkat dari arah pusat Lumajang. Lajur ini memang masih tergolong cukup baru. Jika kita hanya mengandalkan google maps atau aplikasi penunjuk arah lain, biasanya akan diarahkan ke utara melalui Probolinggo. Kemarin, kami juga mengaktifkan aplikasi Waze, dan berkali-kali diarahkan untuk putar balik. Jadi, tidak perlu mengikuti aplikasi-aplikasi ini jika kalian ingin mencoba opsi yang satu ini. Kita hanya perlu berjalan lurus mengikuti lajur utama.
Setelah berbelok dari Jalan Raya Senduro, jalanan akan menyempit dan rumah-rumah penduduk akan semakin jarang. Sekitar kurang dari 3 kilometer setelah pertigaan pertama, kami langsung disambut oleh Alas Burno atau Hutan Burno, dengan papan nama melengkung yang menjadi titik awal hutan. Mulai dari sini, hingga kira-kira 15 kilometer berikutnya, perjalanan kami benar-benar menembus hutan. Hanya di titik-titik tertentu, kami dapat menemukan dusun Burno yang rupanya cukup banyak penghuninya. Belakangan saya baru tahu bahwa penduduk Desa Burno berkisar 4,000 jiwa.
Sejak melaju dari titik Alas Burno menuju Ranu Pani, bisa dibilang lebih dari 2/3 perjalanan merupakan hutan yang masih amat sangat lebat, walaupun jalanan 90% sudah beraspal. Lebar aspal hanya sekitar 3 meter saja dengan mayoritas bahu jalan kurang dari 50 cm tanah di masing-masing ruas yang mungkin masih bisa dilewati. Tapi hati-hati, di sebagian jalan, kita harus melewati sisi jurang yang mana bahu jalannya otomatis sangat rawan untuk dipakai. Jadi, sangat dianjurkan bagi yang mau mencoba lajur ini, bisa berangkat pagi-pagi karena jalanan masih relatif sepi sehingga kecil kemungkinan untuk berpapasan dengan kendaraan dari sisi berlawanan. Namun pastikan setelah matahari terbit ya, karena sama sekali tidak ada lampu jalan di sepanjang lajur ini.
Memilih lajur ini tidak selamanya menegangkan. Dengan menerjang hutan yang masih asli, sepanjang perjalanan kita bisa menghemat energi dengan mematikan AC mobil. Karena well, udaranya udah dingin banget! Kami melewati hutan ini sekitar pukul 6 hingga 7, dan suhu di luar tidak lebih dari 12 derajat celcius. Wow! Asli dingin udara pegunungan, dan sepi kendaraan, jadi tidak ada salahnya untuk membuka jendela mobil dan menikmati semilir angin segar dari dedaunan hutan. Selain suhu yang nyaman, kita juga masih bisa mendengar suara-suara burung maupun serangga hutan, dan tentunya menikmati pemandangan yang disediakan oleh alam. Tak jarang kami menemukan bunga-bunga liar dan melongok ke arah jurang dengan pepohonan berusia ratusan tahun yang rimbun seperti film-film Tarzan atau Jungle Book.
Lepas dari Dusun Burno, kami disambut oleh gerbang lain yang menandakan telah memasuki kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Berada di kaki Semeru, Sang Mahameru dapat terlihat dengan jelas melalui semak-semak pepohonan. Jika berangkat pagi, maka kita dapat menyaksikan warna kemerahan dari berkas-berkas matahari terbit disana.
Tak melebihi 10 kilometer dari gerbang lengkung, kami telah sampai di titik awal pendakian Gunung Semeru, yang ditandai dengan gerbang serupa. Disini kami berhenti sejenak, selagi ada fasilitas toilet dan ngopi-ngopi, mencari kehangatan di udara pegunungan :D
Dari titik ini, kami mulai bertemu dengan desa-desa yang didiami oleh suku Tengger. Ladang-ladang dan kebun sayur mayur seperti kentang, daun bawang, sawi, dan lain-lain, sudah nampak memenuhi lereng-lereng.
Cukup berjalan 1 kilometer pada lajur utama, kami bertemu dengan Ranu Pani yang tenang di balik sederetan bunga matahari. Di sekitar ranu atau danau ini, ramai terlihat para pendaki yang beristirahat dalam kemah-kemah, atau pengunjung yang sekedar menikmati keindahan area ini.
Jika sudah mencapai Ranu Pani, maka perjalanan menuju pemberhentian Bromo hanya tinggal 7 kilometer lagi. Meskipun sudah mulai ramai, tetapi lebar jalanan masih tetap sama. Dari titik ini, rumah-rumah penduduk alias Suku Tengger, mulai berjejer di sepanjang jalan.
Tidak berapa jauh dari ranu, kami tiba di daerah Bantengan. Di daerah ini, rumah penduduk mulai jarang kembali, karena bahu-bahu jalan bersisian dengan jurang-jurang yang tak kalah indahnya dengan jurang Alas Burno. Yes! Akhirnya kita mulai dapat melihat hamparan sabana atau padang rumput yang terus menuju Gunung Bromo. Meksi lebar jalanan masih terbilang sempit, pada beberapa titik tersedia seruas tanah di sisi jurang yang memungkinkan untuk mobil parkir sesaat. Kami menyempatkan untuk berhenti sejenak dan mengabadikan pemandangan sabana dan bukit-bukit Kaldera Tengger yang membentang sejauh mata memandang. Jika beruntung dan sedang tidak hujan, kita dapat menyaksikan pemandangan ini tanpa kabut dan hasilnya cantik sekali untuk diamati.
Selanjutnya merupakan titik terakhir bagi kendaraan pribadi, khususnya mobil, jika ingin melanjutkan perjalanan ke Gunung Bromo, Simpang Jemplang. Disini kita harus memarkir kendaraan dan beralih ke mobil-mobil double gardan milik penduduk setempat yang memang disewakan bagi para pengunjung. Memang sebenarnya bisa saja jika ingin membawa mobil sendiri dengan tarif melintas yang telah ditentukan, namun sangat tidak dianjurkan jika mobil dan drivernya kurang berpengalaman pada medan-medan pegunungan. Pasalnya, jalanan menuju Gunung Bromo merupakan kombinasi antara aspal yang hanya dapat memuat satu mobil, off-road, hamparan pasir, dan terkadang rumput-rumput liar. Untuk kendaraan motor, masih diperbolehkan dengan tanggung jawab sepenuhnya ada di pengendara. Meski tak jarang juga kami melihat beberapa pengendara yang kesulitan, bahkan harus didorong manual agar bisa melaju di lautan pasir.
Omong-omong soal mobil double gardan, transportasi yang ditawarkan oleh penduduk setempat ini, memiliki sekitar 1000 armada yang keseluruhannya dikelola oleh Suku Tengger. Tarif sewanya sebesar enam ratus ribu rupiah pulang-pergi, dihitung dari Pos Jemplang. Jika titik mulainya lebih jauh lagi, tarif bisa berbeda dan lebih mahal. Bahkan ada yang mencapai satu setengah juta rupiah jika berangkat dari daerah dekat Poncokusumo arah Malang. Kelebihannya tentu saja kita bisa cenderung merasa aman karena drivernya sudah berpengalaman dan istilah orang Jawanya, wes eruh pek-pek e dalan. Selain itu, driver juga sabar menanti jika ingin lebih lama berhenti di salah satu spot dalam kawasan Bromo ini.
Spot-spot yang ditawarkan oleh kawasan taman nasional ini antara lain: Sabana, Bukit Teletubbies, Pasir Berbisik, dan tentu saja Gunung Bromo dan Bathok. Jika berkunjung saat musim kemarau, siap-siap menggunakan masker karena debu pasirnya akan sering menempel ke kulit, terlebih jika ada angin yang meniup-niup. Selain itu, pada musim ini, sabana akan kering dan berwarna kecokelatan. Namun jika mengunjungi Bromo di musim hujan, padang rumput akan terlihat lebih cantik kehijauan dan jalanan pasir cenderung lebih mudah dilewati karena lebih padat teksturnya.
Sesampainya di Gunung Bromo, terdapat dua opsi untuk menanjak hingga kawah, dengan berjalan kaki atau menunggang kuda. Yang pasti, kedua opsi ini tetap harus melintasi padang pasir yang panjangnya bisa mencapai 1 kilometer. Jika ingin mencoba menunggang kuda, tarif yang ditawarkan bervariasi antara seratus lima puluh ribu rupiah hingga seratus tujuh puluh lima ribu rupiah. Lagi-lagi transportasi ini disediakan oleh Suku Tengger setempat.
Jika diperhatikan, sebagian besar usaha yang berada di kawasan Bromo ini merupakan mata pencaharian Suku Tengger. Bicara soal suku asli Gunung Bromo ini, rupanya terbagi menjadi empat kelompok besar, berdasarkan daerah asalnya, Tengger Lumajang, Tengger Malang, Tengger Pasuruan, dan Tengger Probolinggo, dengan kepercayaan mayoritasnya adalah Hindu. Oleh karena itu, tepat di kaki Gunung Bromo, didirikan Pura Luhur Poten sebagai tempat ibadah pusat bagi seluruh suku yang tersebar di empat penjuru area. Upacara keagamaan juga merupakan daya tarik tersendiri bagi Bromo. Kebetulan, hari ini hingga besok sedang diadakan Upacara Kasada, atau persembahan sesajen dengan membuang pengorbanannya ke Kawan Bromo.
Untuk rute pulang, kami ambil jalan lurus langsung ke arah Malang. Daerah terdekat yang dicapai adalah Poncokusumo, kebun apelnya Malang. Jarak menuju titik ini, kira-kira sama dengan Senduro-Jemplang. Namun, jalanan yang sudah berada di cakupan Malang ini, tidak lebih bagus jika dibandingkan dengan rute keberangkatan dari Senduro.
Nonetheless, rute Senduro-Bromo dapat menjadi alternatif perjalanan bagi para wisatawan Bromo ataupun yang hanya ingin jalan-jalan biasa. Tidak ada salahnya mencoba lajur ini sambil menikmati pemandangan yang ditawarkan oleh alam! ^^
Cr: semua foto adalah dokumentasi pribadi.
Setelah berbelok dari Jalan Raya Senduro, jalanan akan menyempit dan rumah-rumah penduduk akan semakin jarang. Sekitar kurang dari 3 kilometer setelah pertigaan pertama, kami langsung disambut oleh Alas Burno atau Hutan Burno, dengan papan nama melengkung yang menjadi titik awal hutan. Mulai dari sini, hingga kira-kira 15 kilometer berikutnya, perjalanan kami benar-benar menembus hutan. Hanya di titik-titik tertentu, kami dapat menemukan dusun Burno yang rupanya cukup banyak penghuninya. Belakangan saya baru tahu bahwa penduduk Desa Burno berkisar 4,000 jiwa.
Sejak melaju dari titik Alas Burno menuju Ranu Pani, bisa dibilang lebih dari 2/3 perjalanan merupakan hutan yang masih amat sangat lebat, walaupun jalanan 90% sudah beraspal. Lebar aspal hanya sekitar 3 meter saja dengan mayoritas bahu jalan kurang dari 50 cm tanah di masing-masing ruas yang mungkin masih bisa dilewati. Tapi hati-hati, di sebagian jalan, kita harus melewati sisi jurang yang mana bahu jalannya otomatis sangat rawan untuk dipakai. Jadi, sangat dianjurkan bagi yang mau mencoba lajur ini, bisa berangkat pagi-pagi karena jalanan masih relatif sepi sehingga kecil kemungkinan untuk berpapasan dengan kendaraan dari sisi berlawanan. Namun pastikan setelah matahari terbit ya, karena sama sekali tidak ada lampu jalan di sepanjang lajur ini.
Memilih lajur ini tidak selamanya menegangkan. Dengan menerjang hutan yang masih asli, sepanjang perjalanan kita bisa menghemat energi dengan mematikan AC mobil. Karena well, udaranya udah dingin banget! Kami melewati hutan ini sekitar pukul 6 hingga 7, dan suhu di luar tidak lebih dari 12 derajat celcius. Wow! Asli dingin udara pegunungan, dan sepi kendaraan, jadi tidak ada salahnya untuk membuka jendela mobil dan menikmati semilir angin segar dari dedaunan hutan. Selain suhu yang nyaman, kita juga masih bisa mendengar suara-suara burung maupun serangga hutan, dan tentunya menikmati pemandangan yang disediakan oleh alam. Tak jarang kami menemukan bunga-bunga liar dan melongok ke arah jurang dengan pepohonan berusia ratusan tahun yang rimbun seperti film-film Tarzan atau Jungle Book.
Tak melebihi 10 kilometer dari gerbang lengkung, kami telah sampai di titik awal pendakian Gunung Semeru, yang ditandai dengan gerbang serupa. Disini kami berhenti sejenak, selagi ada fasilitas toilet dan ngopi-ngopi, mencari kehangatan di udara pegunungan :D
Dari titik ini, kami mulai bertemu dengan desa-desa yang didiami oleh suku Tengger. Ladang-ladang dan kebun sayur mayur seperti kentang, daun bawang, sawi, dan lain-lain, sudah nampak memenuhi lereng-lereng.
Cukup berjalan 1 kilometer pada lajur utama, kami bertemu dengan Ranu Pani yang tenang di balik sederetan bunga matahari. Di sekitar ranu atau danau ini, ramai terlihat para pendaki yang beristirahat dalam kemah-kemah, atau pengunjung yang sekedar menikmati keindahan area ini.
Jika sudah mencapai Ranu Pani, maka perjalanan menuju pemberhentian Bromo hanya tinggal 7 kilometer lagi. Meskipun sudah mulai ramai, tetapi lebar jalanan masih tetap sama. Dari titik ini, rumah-rumah penduduk alias Suku Tengger, mulai berjejer di sepanjang jalan.
Tidak berapa jauh dari ranu, kami tiba di daerah Bantengan. Di daerah ini, rumah penduduk mulai jarang kembali, karena bahu-bahu jalan bersisian dengan jurang-jurang yang tak kalah indahnya dengan jurang Alas Burno. Yes! Akhirnya kita mulai dapat melihat hamparan sabana atau padang rumput yang terus menuju Gunung Bromo. Meksi lebar jalanan masih terbilang sempit, pada beberapa titik tersedia seruas tanah di sisi jurang yang memungkinkan untuk mobil parkir sesaat. Kami menyempatkan untuk berhenti sejenak dan mengabadikan pemandangan sabana dan bukit-bukit Kaldera Tengger yang membentang sejauh mata memandang. Jika beruntung dan sedang tidak hujan, kita dapat menyaksikan pemandangan ini tanpa kabut dan hasilnya cantik sekali untuk diamati.
Selanjutnya merupakan titik terakhir bagi kendaraan pribadi, khususnya mobil, jika ingin melanjutkan perjalanan ke Gunung Bromo, Simpang Jemplang. Disini kita harus memarkir kendaraan dan beralih ke mobil-mobil double gardan milik penduduk setempat yang memang disewakan bagi para pengunjung. Memang sebenarnya bisa saja jika ingin membawa mobil sendiri dengan tarif melintas yang telah ditentukan, namun sangat tidak dianjurkan jika mobil dan drivernya kurang berpengalaman pada medan-medan pegunungan. Pasalnya, jalanan menuju Gunung Bromo merupakan kombinasi antara aspal yang hanya dapat memuat satu mobil, off-road, hamparan pasir, dan terkadang rumput-rumput liar. Untuk kendaraan motor, masih diperbolehkan dengan tanggung jawab sepenuhnya ada di pengendara. Meski tak jarang juga kami melihat beberapa pengendara yang kesulitan, bahkan harus didorong manual agar bisa melaju di lautan pasir.
Omong-omong soal mobil double gardan, transportasi yang ditawarkan oleh penduduk setempat ini, memiliki sekitar 1000 armada yang keseluruhannya dikelola oleh Suku Tengger. Tarif sewanya sebesar enam ratus ribu rupiah pulang-pergi, dihitung dari Pos Jemplang. Jika titik mulainya lebih jauh lagi, tarif bisa berbeda dan lebih mahal. Bahkan ada yang mencapai satu setengah juta rupiah jika berangkat dari daerah dekat Poncokusumo arah Malang. Kelebihannya tentu saja kita bisa cenderung merasa aman karena drivernya sudah berpengalaman dan istilah orang Jawanya, wes eruh pek-pek e dalan. Selain itu, driver juga sabar menanti jika ingin lebih lama berhenti di salah satu spot dalam kawasan Bromo ini.
Spot-spot yang ditawarkan oleh kawasan taman nasional ini antara lain: Sabana, Bukit Teletubbies, Pasir Berbisik, dan tentu saja Gunung Bromo dan Bathok. Jika berkunjung saat musim kemarau, siap-siap menggunakan masker karena debu pasirnya akan sering menempel ke kulit, terlebih jika ada angin yang meniup-niup. Selain itu, pada musim ini, sabana akan kering dan berwarna kecokelatan. Namun jika mengunjungi Bromo di musim hujan, padang rumput akan terlihat lebih cantik kehijauan dan jalanan pasir cenderung lebih mudah dilewati karena lebih padat teksturnya.
Sesampainya di Gunung Bromo, terdapat dua opsi untuk menanjak hingga kawah, dengan berjalan kaki atau menunggang kuda. Yang pasti, kedua opsi ini tetap harus melintasi padang pasir yang panjangnya bisa mencapai 1 kilometer. Jika ingin mencoba menunggang kuda, tarif yang ditawarkan bervariasi antara seratus lima puluh ribu rupiah hingga seratus tujuh puluh lima ribu rupiah. Lagi-lagi transportasi ini disediakan oleh Suku Tengger setempat.
Jika diperhatikan, sebagian besar usaha yang berada di kawasan Bromo ini merupakan mata pencaharian Suku Tengger. Bicara soal suku asli Gunung Bromo ini, rupanya terbagi menjadi empat kelompok besar, berdasarkan daerah asalnya, Tengger Lumajang, Tengger Malang, Tengger Pasuruan, dan Tengger Probolinggo, dengan kepercayaan mayoritasnya adalah Hindu. Oleh karena itu, tepat di kaki Gunung Bromo, didirikan Pura Luhur Poten sebagai tempat ibadah pusat bagi seluruh suku yang tersebar di empat penjuru area. Upacara keagamaan juga merupakan daya tarik tersendiri bagi Bromo. Kebetulan, hari ini hingga besok sedang diadakan Upacara Kasada, atau persembahan sesajen dengan membuang pengorbanannya ke Kawan Bromo.
Untuk rute pulang, kami ambil jalan lurus langsung ke arah Malang. Daerah terdekat yang dicapai adalah Poncokusumo, kebun apelnya Malang. Jarak menuju titik ini, kira-kira sama dengan Senduro-Jemplang. Namun, jalanan yang sudah berada di cakupan Malang ini, tidak lebih bagus jika dibandingkan dengan rute keberangkatan dari Senduro.
Nonetheless, rute Senduro-Bromo dapat menjadi alternatif perjalanan bagi para wisatawan Bromo ataupun yang hanya ingin jalan-jalan biasa. Tidak ada salahnya mencoba lajur ini sambil menikmati pemandangan yang ditawarkan oleh alam! ^^
Cr: semua foto adalah dokumentasi pribadi.
Comments
Post a Comment